Senin, 10 Agustus 2015

PRAKTEK BERDANA

PRAKTEK BERDANA

Susan Elbaum Jootla

Perbuatan memberi (Pali: dana) merupakan satu langkah awal yang penting di dalam praktek Buddhis. Jika dipraktekkan tersendiri, perbuatan berdana ini merupakan landasan jasa kebajikan atau karma baik. Jika dibarengi moralitas, konsentrasi dan kebijaksanaan, dana akhirnya menghasilkan pembebasan dari samsara – lingkaran tumimbal lahir. Bahkan mereka yang sudah mantap di jalan pembebasan pun tetap selalu mempraktekan dana, karena perbuatan ini membuahkan kekayaan, keelokan dan kegembiraan di dalam sisa hidup mereka. Para Bodhisatta melengkapi danaparami (kesempurnaan dana) sampai tingkat tertinggi, rela memberikan anggota tubuh dan bahkan kehidupan mereka, untuk membantu mahluk-mahluk lain.

Seperti halnya semua perbuatan baik, berdana akan memberikan kebahagiaan pada kita di masa depan, sesuai dengan Hukum Karma tentang sebab-akibat yang diajarkan oleh Sang Buddha. Berdana menghasilkan manfaat di dalam kehidupan sekarang dan dalam kehidupan-kehidupan yang akan datang, tak peduli apakah kita sadar akan kenyataan ini atau tidak. Tetapi jika niat itu dibarengi dengan pemahaman, kita dapat dengan pesat meningkatkan jasa kebajikan yang diperoleh lewat pemberian kita.

Ada 3 faktor yang menentukan besarnya jasa kebajikan yang diperoleh, yaitu: sifat dari motif pendana, kemurnian spiritual si penerima, dan jenis serta ukuran yang didanakan. Karena kita harus mengalami akibat dari perbuatan kita –perbuatan baik membawa akibat baik sedangkan perbuatan buruk membawa akibat buruk– maka masuk akallah bila kita mencoba menciptakan karma baik sebanyak mungkin. Di dalam praktek berdana, hal ini berarti: menjaga agar pikiran tetap murni di dalam berdana, dengan cara memilih penerima yang paling pantas, serta memilih dana yang paling sesuai dan paling menyiratkan kedermawanan yang dapat diupayakan seseorangan.

Faktor Niat (Kehendak)
Niat si pemberi sebelum, selama dan setelah tindakan kedermawanan itulah yang terpenting dari 3 faktor yang terlibat dalam praktek berdana: “Jika kita tidak memiliki kontrol terhadap pikiran, kita tidak memilih dana yang pantas dan penerima yang paling baik. Juga, kita tidak akan mungkin menyiapkan dana itu dengan benar. Mungkin kita malahan cukup tolol untuk merasa menyesal setelah memberikan dana itu.”1 Ajaran Buddhis memberikan perhatian khusus terhadap landasan psikologis berdana, dengan membedakan berbagai keadaan pikiran yang membarengi tindakan berdana. Terdapat perbedaan mendasar antara tindakan berdana yang kurang bijaksana dan tindakan berdana yang dibarengi kebijaksanaan. Yang belakangan itu lebih tinggi daripada yang pertama. Satu contoh jenis tindakan berdana sederhana adalah anak yang menaruh bunga di altar rumah hanya karena disuruh ibunya, sementara dia tidak mengetahui makna dari tindakannya itu.

Kedermawanan yang dihubungkan dengan kebijaksanaan sebelum, selama, dan sesudah berdana merupakan jenis berdana tertinggi. Tiga contoh tindakan berdana yang bijaksana adalah : 1) berdana dengan pemahaman yang jelas bahwa menurut Hukum Karma tentang sebab-akibat, tindakan kedermawanan akan memberikan hasil-hasil yang bermanfaat di masa depan; 2) berdana dengan kesadaran bahwa yang didanakan, si penerima, dan si pemberi, semuanya tidak kekal; dan 3) berdana dengan tujuan meningkatkan usaha agar menjadi tercerahkan. Karena tindakan berdana membutuhkan waktu, satu tindakan berdana dapat mengandung salah satu dari 3 jenis pemahaman ini pada setiap tahap proses berdana.

Motif terbaik di dalam berdana adalah niat bahwa tindakan berdana itu memperkuat usaha seseorang untuk mencapai Nibbana. Kebebasan dicapai dengan cara menghapuskan semua kekotoran mental (kilesa) yang berakar pada pandangan keliru tentang adanya ‘aku’ yang mengontrol dan abadi. Jika ilusi ini sudah terhapus, pikiran-pikiran egois tidak lagi dapat muncul. Jika kita bersemangat untuk mencapai kedamaian dan kemurnian tertinggi dengan mempraktekkan kedermawanan, kita akan mengembangkan dana parami – kesempurnaan berdana – yang membangun gudang jasa, dan hasilnya akan berpuncak pada pencapaian pencerahan spriritual. Sementara kita terus maju ke tujuan, niat yang terlibat di dalam tindakan berdana akan membantu kita, dengan membuat pikiran menjadi ulet. Pikiran yang liat merupakan aset penting untuk mengembangkan konsentrasi dan kebijaksanaan, yang merupakan syarat-syarat utama pembebasan.

Para Ariya -orang-orang suci yang telah mencapai salah satu dari 4 tahap kesucian- selalu berdana dengan niat yang murni karena pikiran mereka berfungsi dengan dasar kebijaksanaan. Mereka yang masih berada di bawah tingkat ini kadang-kadang berdana secara sembarangan, tanpa rasa hormat, dengan keadaan pikiran yang tidak baik. Sang Buddha mengajarkan bahwa di dalam praktek berdana, seperti halnya di dalam semua perilaku lewat tubuh dan ucapan, niat yang membarengi perbuatan itulah yang menentukan kualitas moralnya. Jika seseorang mempersembahkan sesuatu pada bhikkhu, tidaklah pantas bila dia melakukannya tanpa sikap penuh hormat. Melemparkan uang kepada pengemis agar terbebas darinya juga dapat dianggap kekotoran dari tindakan berdana. Agar memperoleh hasil yang paling baik, kita harus berpikir dengan seksama tentang relevansi berdana dan penentuan waktunya. Dana yang diberikan melalui perantara -menyuruh pembantu memberikan makanan kepada bhikkhu, bukan memberikan dengan tangan sendiri- juga mengurangi nilai pemberian. Bila orang berdana tanpa menyadari bahwa dia harus mengalami akibat-akibat dari tindakannya, tindakan berdana itu juga berkurang potensinya di dalam memberikan jasa.

Jika orang hanya merencanakan akan berdana tetapi tidak melaksanakan rencananya, jasa yang diperolehnya amatlah kecil. Jadi, orang harus selalu menindaklanjuti niat kedermawanannya dengan segera, kecuali memang ada penghalang. Jika setelah memberikan dana kita merasa kecewa pada tindakan itu, sebagian besar jasa kebajikan dari tindakan itu akan hilang.

Orang yang bermoral akan berdana secara sopan dan penuh hormat. Apakah pemberian itu dilakukan secara spontan atau direncanakan, dia akan memastikan bahwa pilihan waktu dan isi pemberian itu cocok bagi si penerima. Banyak ibu rumah tangga di negara Buddhis mengundang beberapa bhikkhu ke rumah mereka untuk menerima dana makanan di pagi hari. Sebelum menyiapkan makanan untuk keluarganya, para wanita ini selalu mempersembahkan makanan kepada para bhikkhu dengan tangan mereka sendiri.

Bisa saja orang berdana karena takut tidak disukai teman-temannya jika dia tidak memberi. Berdana sebagai respon pada tekanan sosial seperti ini akan membuahkan hasil yang lemah walaupun masih bermanfaat. Tindakan-tindakan kedermawanan yang dijalankan untuk memperoleh nama baik juga bersifat ego, sehingga bukan jenis tindakan berdana yang bernilai tinggi. Juga bukan merupakan tindakan terpuji jika orang hanya memberi untuk membalas jasa atau mengharapkan ganjaran. Yang pertama itu bagaikan membayar hutang, sedangkan yang terakhir sama dengan memberi suap.

Si Penerima Dana
Kemurnian si penerima merupakan faktor lain yang membantu menentukan sifat dari buah karma. Makin mulia si penerima, makin besar pula manfaat yang akan datang pada si pemberi. Jadi, baik sekali bila berdana kepada orang-orang tersuci yang ada. Sang Buddha mengajarkan bahwa penerima yang paling pantas adalah para Ariya, orang-orang suci, seperti misalnya Sang Buddha sendiri dan siswa-siswa Beliau yang telah mencapai Jalan dan Hasil di luar duniawi. Kemurnian pikiran mereka -yang dicapai lewat kebijaksanaan- itulah yang mampu menghasilkan manfaat yang melimpah. Oleh karena itu, untuk mencari jasa maksimum, kita harus berdana sebanyak yang kita mampu, dan sesering mungkin, kepada para suci. Berdana kepada bhikkhu yang berusaha mencapai kesucian, atau kepada meditator Buddhis yang hidup menjalankan 5 sila (peraturan moralitas), juga akan memberikan hasil yang amat besar.

Ketika para Ariya menerima persembahan, mereka menerima untuk memberikan kesempatan pada si pemberi untuk mengumpulkan jasa kebajikan. Anagami (Yang-Tidak-Kembali-Lagi) dan Arahat khususnya – yang telah mencapai 2 tahap kesucian tertinggi – telah menghilangkan nafsu terhadap objek indera, sehingga ketika mereka diberi dana, pikiran mereka tetap tidak melekati objek yang diberikan dan penuh dengan kasih sayang kepada si pemberi.

Kisah tentang Sivali di dalam Kitab Komentar Dhammapada2 merupakan contoh tentang jasa kebajikan besar yang bahkan dapat dihasilkan dari dana yang kecil jika dipersembahkan kepada Sangha yang dipimpin oleh Sang Buddha. Pada zaman Buddha Vipassi, penduduk suatu negeri bersaing dengan raja mereka untuk melihat siapa yang dapat memberikan pemberian terbesar pada Sang Buddha dan Sangha. Segala kebutuhan untuk persembahan sudah diperoleh, kecuali madu segar. Maka mereka pun mengirimkan banyak pesuruh yang berbekal banyak uang untuk membeli bahan yang masih kurang itu. Salah satu dari pesuruh ini bertemu dengan seorang penduduk desa yang kebetulan sedang membawa sarang lebah yang baru saja diambil untuk dijual ke kota. Untuk bisa memperoleh madu itu, dia menawarkan seluruh uangnya yang berjumlah 1000 keping (yang nilainya tentu saja jauh melebihi harga sarang lebah itu). Tentu saja orang desa itu terkejut: “Apakah Anda gila? … Harga madu ini amat murah, tetapi Anda menawarkan 1000 keping uang. Mengapa? Coba jelaskan.” Maka pesuruh itu pun menerangkan bahwa madu itu amat berharga karena merupakan bahan terakhir yang dibutuhkan untuk membuat persembahan bagi Sang Buddha yang akan dipersembahkan rakyat. Secara spontan, orang desa itupun menjawab. “Kalau begitu, saya tidak akan menjual sarang lebah ini walaupun dibayar berapa pun. Jika saya memang bisa menerima jasa kebajikan dari persembahan ini, madu ini akan saya danakan saja.” Para penduduk amat terkesan mengetahui keyakinan orang ini, yang dengan amat rela menolak rejeki nomplok seperti itu dan lebih memilih menerima jasa persembahan.

Karena hadiah sederhana pada zaman Buddha Vipassi ini, orang desa itu berkali-kali terlahir di alam surga dan kemudian menjadi pangeran yang mewarisi tahta kerajaan Benares. Di dalam kehidupan terakhirnya, dia menjadi Sivali Thera dan mencapai tingkat Arahat sebagai siswa Buddha Gotama. Bahkan setelah menjadi siswa Sang Buddha pun, hadiah sarang lebah itu masih terus memberikan buah. Untuk menghormati orang yang mempersembahkan hadiah manis berkalpa-kalpa sebelumnya, para dewa menyediakan tempat tinggal dan makanan bagi Sang Buddha dan 500 bhikkhu, termasuk Sivali, ketika berhari-hari mereka berjalan di jalan yang tidak ada penduduknya.

Praktek berdana juga bermanfaat walaupun diarahkan pada orang yang belum maju secara spiritual. Jika niat si pemberi itu baik, maka walaupun si penerima tidak bermoral, si pemberi akan memperoleh jasa kebajikan. Lalu, lewat tindakan berdana ini dia akan memperkuat tekad di dalam dirinya sendiri untuk meninggalkan kehidupan duniawi. Dana yang dipersembahkan secara mental kepada Ariya Sangha tetapi secara fisik diberikan pada seorang bhikkhu yang moralitasnya buruk pun masih memberikan buah yang besar. Tentu saja, kita tidak boleh berpura-pura menganggap orang yang jelek itu baik. Namun ketika berdana, kita harus amat berhati-hati terhadap sikap kita sendiri, karena sikap kita merupakan faktor yang paling dapat kita kendalikan.

Objek yang Diberikan
Faktor ketiga yang terlibat di dalam tindakan berdana adalah dana itu sendiri, yang dapat berupa materi atau non-materi. Oleh Sang Buddha dikatakan bahwa Dhammadana -dana Ajaran Mulia- melebihi semua dana lain (Dhammmapada 345). Mereka yang membabarkan ajaran-ajaran Beliau -para bhikkhu yang mengulang ajaran dari Tipitaka, para guru meditasi- sering membagikan Kebenaran ini, dan dengan demikian mempraktekkan jenis dana tertinggi. Bila tidak memenuhi syarat untuk mengajarkan Dhamma, kita dapat berdana Dhamma dengan cara lain. Kita dapat mendanakan buku-buku Dhamma atau membiayai terjemahan atau mencetak naskah baru atau naskah langka yang membabarkan Sabda Sang Buddha. Kita dapat membahas Dhamma secara tidak formal dan mendorong orang lain untuk menjalani sila (peraturan moralitas) atau ikut meditasi. Kita bisa menulis penjelasan mengenai beberapa aspek Dhamma demi manfaat orang lain. Memberikan uang atau tenaga di pusat meditasi atau membantu menopang guru meditasi dapat juga dianggap dana Dhamma, karena tujuan dari pusat meditasi dan guru itu adalah penyampaian ajaran-ajaran Sang Buddha.

Jenis pemberian yang paling umum adalah benda materi. Objek materi tidak perlu memiliki nilai uang yang besar untuk bisa menghasilkan hasil yang besar. Kisah tentang Sivali dan sarang lebahnya merupakan contoh. Jika seorang yang miskin memberikan kepada seorang bhikkhu semangkuk nasi yang merupakan makanan satu-satunya untuk hari itu, orang itu melakukan persembahan besar yang bisa membuahkan hasil yang melimpah. Sebaliknya, jika seorang pedagang kaya -yang sudah tahu bahwa akan ada bhikkhu yang datang untuk mengumpulkan dana makanan- memberikan semangkuk nasi, dia akan menuai buah yang kecil. Kita harus berusaha memberikan benda yang kualitasnya setidak-tidaknya sama bagusnya dengan yang kita gunakan sendiri. Di Burma misalnya, orang-orang membeli buah-buahan terbaik di pasar untuk para bhikkhu walaupun buah-buahan ini terlalu mahal untuk mereka makan sendiri.

Pemberian kepada Sangha bisa berupa makanan, jubah, obat-obatan atau vihara, yang bisa beraneka ragam. Batasnya ditentukan oleh peraturan-peraturan Vinaya yang diberikan Sang Buddha ketika dan bila dibutuhkan, untuk menjaga kemurnian dan kekuatan bhikkhu Sangha. Umat awam yang memahami peraturan-peraturan bhikkhu ini dapat memperoleh jasa kebajikan yang besar dengan memberikan benda-benda yang sesuai pada waktu yang sesuai pada Sangha bhikkhu dan bhikkhuni.

Kisah tentang Visakha –umat awam wanita utama Sang Buddha– merupakan contoh yang luar biasa tentang hasil kedermawanan berskala besar3. Ketika Visakha akan dinikahkan, persiapan dan hadiah yang melimpah diatur oleh ayahandanya. Visakha diberi uang, emas, bejana perak dan tembaga, pakaian sutera, ghee dan beras, peralatan pertanian, masing-masing sejumlah 500 kereta. Kemudian ayahnya memutuskan bahwa Visakha juga harus membawa ternak. Maka dia memerintahkan orang-orangnya untuk mengeluarkan binatang dari kandangnya sampai memenuhi suatu kawasan tertentu. Ketika sapi-sapi sudah keluar dan memenuhi kawasan berbatas itu, sang ayah memerintahkan agar gerbang batas kawasan ditutup. “Ternak-ternak di luar kawasan ini cukup untuk putriku.” Tetapi, setelah gerbang digerendel dengan kokoh, banyak sapi jantan dan sapi perah melompati penghalang untuk bergabung dengan ternak yang akan diberikan pada Visakha. Para pembantu tidak dapat memaksa binatang-binatang itu kembali ke kawasan, betapa pun kerasnya mereka berupaya.

Semua ternak itu mengikuti Visakha karena, dalam kehidupan lampaunya pada zaman Buddha Kassapa, Visakha pernah memberikan persembahan secara dermawan berupa 5 jenis produk susu kepada kelompok 20.000 bhikkhu dan samanera. Pada waktu itu, sebagai putri bungsu dari 7 putri Raja Kiki dari Kerajaan Benares, dia terus mendesak para bhikkhu untuk mengambil lebih banyak susu, dadih, ghee dll, sekalipun mereka mengatakan sudah kenyang. Hadiah itu memberinya jasa kebajikan memiliki jumlah ternak yang amat banyak ketika dia terlahir sebagai Visakha dan tak seorang pun dapat mencegah Visakha menuai buahnya.

Dana materi yang bersifat religius termasuk sumbangan membangun vihara atau candi baru, lembar-lembar emas untuk menyepuh payung altar, atau pembelian patung Buddha untuk vihara. Penerima dana-dana seperti itu adalah masyarakat umum – siapa pun yang datang ke vihara atau yang memuja Sang Buddha di hadapan patung Buddha.

Dana duniawi kepada masyarakat termasuk sumbangan ke berbagai organisasi social, sumbangan ke rumah sakit atau perpustakaan umum, menjaga kerapian dan kebersihan taman di lingkungan. Jika orang tidak hanya berdana untuk proyek-proyek semacam itu tetapi juga memberikan tenaga fisik, hasil karmanya bahkan jauh lebih besar. Dana-dana semacam ini dapat sangat berjasa jika didahului, dibarengi dan diikuti oleh niat mental yang murni.

Penyempurnaan Dana
Ada cara berdana yang sama sekali tidak mempedulikan sifat-sifat si penerima, dan bahkan tidak mempedulikan hasil duniawi perbuatan jasa yang diperoleh lewat dana. Kedermawanan ini muncul dari motif meninggalkan keduniawian, dari pikiran untuk menghancurkan kemelekatan terhadap harta milik mereka, dan dengan demikian bertujuan untuk memberikan apa yang paling dicintai dan paling sulit. Bilamana ada kesempatan, para Bodhisatta memberi dengan cara ini, semata-mata hanya untuk memenuhi danaparami, ‘penyempurnaan dana’. Danaparami merupakan yang pertama dari 10 kesempurnaan yang harus mereka kembangkan sampai tingkat tertinggi untuk mencapai ke-Buddha-an. Apa yang dilakukan Boddhisatta untuk melengkapi kesempurnaan dana menuntut jauh lebih banyak daripada yang dapat dilakukan makhluk-makhluk lain. Banyak cerita Jataka yang mengisahkan bagaimana Bodhisatta -sebelum menjadi Buddha Gotama- memberikan barang-barang tanpa sedikit pun memikirkan dirinya sendiri, tanpa memikirkan manfaat-manfaat duniawi yang diakibatkan. Satu-satunya perhatian bagi Bodhisatta di dalam mempraktekkan kedermawanan adalah memenuhi persyaratan ke-Buddha-an.

Keranjang Perilaku4 berisikan 10 kisah kehidupan lampau Bodhisatta itu. Di dalam salah satu kehidupan, dia adalah seorang brahmana bernama Sankha yang melihat seorang Paccekabuddha (seseorang yang sudah tercerahkan tetapi tidak mengajar), yang sedang berjalan tanpa alas kaki di gurun. Sankha berpikir, “Aku menginginkan jasa kebajikan, dan kalau kulihat seseorang yang jelas pantas menerima dana keyakinan, aku harus memberikan dana kepadanya. Kalau tidak, aku akan kekurangan jasa kebajikan.” Maka brahmana itu, yang keadaan jasmaninya sangat rapuh, mempersembahkan alas kakinya kepada Paccekabuddha itu walaupun dia jauh lebih membutuhkannya (Bagian I, Kisah 2)

Pada waktu lain, Bodhisatta itu adalah kaisar agung bernama Maha-Sudassana. Dia mempunyai pesuruh-pesuruh yang tugasnya mengumumkan beberapa kali sehari di ribuan tempat di seluruh kerajaan, bahwa siapa pun yang menginginkan sesuatu akan diberi jika dia datang ke istana dan meminta. “Baik siang maupun malam, jika ada petapa spiritual, dia akan mendapatkan segala yang diinginkannya dan pergi dengan tangan penuh. Maha-Sudassana memberi dengan kedermawanan yang sepenuhnya terbuka, tanpa kemelekatan, tanpa mengharapkan apapun sebagai imbalan, untuk pencapaian Kebangunan-Diri” (I,4).

Untuk mencapai bentuk tertinggi kesempurnaan kedermawanan, Bodhisatta harus mempraktekkan dana yang lebih sulit daripada hanya pemberian materi. Dia harus dengan ikhlas memberikan anggota tubuhnya, anaknya, istrinya, dan bahkan kehidupannya sendiri. Sebagai Raja Sivi, Bodhisatta kita mencongkel keluar kedua matanya dengan tangannya sendiri untuk diberikan kepada Sakka, raja para dewa. Sakka mendatangi Sivi dengan menyamar sebagai orang tua buta, hanya untuk memberinya kesempatan untuk melakukan persembahan yang luar biasa ini. Sivi melakukan hal ini tanpa keraguan sebelum bertindak, tanpa keengganan selama melakukan perbuatan itu, dan tanpa rasa sesal sesudahnya. Dia mengatakan bahwa pemberian ini dilakukan “demi Pencerahan itu sendiri. Dua mata itu bukannya tidak menyenangkan bagiku. Ke-mahatahuan itu berharga untukku, maka aku memberikan mataku” (I,8).

Sebagai Pangeran Vessantara, Bodhisatta memberikan gajah kerajaan yang kuat dan berharga pada penduduk kerajaan saingannya hanya karena mereka memintanya. Sebagai akibat kedermawanan ini, dia, isteri dan kedua anaknya dibuang ke sebuah gunung terpencil. Mereka hidup di hutan. Vessantara merawat anak lelaki dan perempuannya di gubuk mereka, sementara istrinya pergi mengumpulkan buah-buahan liar untuk makanan mereka. Suatu hari, seseorang datang pada Bodhisatta dan meminta ke dua anaknya. Tanpa keraguan, Vessantara memberikan mereka. Kemudian dia pun memberikan juga istrinya yang luhur itu. “Anak-anakku bukannya tidak menyenangkan bagiku, dan Putri Maddi bukannya tidak menyenangkan. Kemahatahuan amat berharga bagiku, maka aku memberikan mereka yang kusayangi” (I.9) Harus dicatat bahwa pada saat itu, istri dan anak dianggap sebagai harta kekayaan seorang laki-laki. Di banyak kehidupan sebelumnya. Putri Maddi telah terinspirasi untuk menjadi istri Bodhisatta dan untuk berbagi dengannya apa pun kesulitan yang harus dialami di sepanjang jalan ke ke-Buddha-an. Buah karma Putri Maddi cocok dengan niat Pangeran Vessantara, dan hal itu membuat dia diberikan pada orang lain. Anak-anak mereka pun pasti telah mengalami akibat dan perbuatan-perbuatan lampau mereka sendiri ketika mereka harus meninggalkan orang tuanya.

Pada kehidupan lain, Bodhisatta terlahir sebagai kelinci yang bijaksana. Kehidupannya berakhir ketika dengan gembira dia melompat ke dalam api setelah mengundang seorang brahmana kelaparan (yaitu Sakka yang menyamar) untuk makan kelinci panggang. Karena kemurnian pikiran Bodhisatta pada waktu melakukan persembahan tertinggi dengan seluruh tubuh dan kehidupannya itu, api yang membakarnya tidak menimbulkan rasa sakit walaupun dagingnya terbakar. Ketika menceritakan kisah itu, beliau mengatakan bahwa ternyata api itu telah menenangkan dan memberinya kedamaian bagaikan air dingin, karena dia telah sepenuhnya mencapai kesempurnaan dana.

Tujuan Tertinggi Berdana
Tujuan jalan Sang Buddha adalah pembebasan dari penderitaan karena tumimbal lahir di dalam samsara. Sang Buddha mengajarkan bahwa dengan mencabut akar-akar kebodohan dan kekotoran mental yang diakibatkannya, kita menuju Nibbana, berhentinya penderitaan secara total. Sebaliknya, berbagai kecenderungan mental yang tidak baik membuat kita melekati apa yang secara salah kita anggap ‘diri’. Kecendetungan ini membuat kita berjuang untuk memuaskan nafsu indera kita yang tak pernah terpuaskan, lewat objek-objek yang pada dasarnya hanyalah sementara sehingga sifatnya tidak memuaskan.

Sang Buddha mengatakan bahwa praktek berdana akan membantu usaha kita untuk memurnikan pikiran. Pemberian yang dermawan, dengan niat baik, akan membantu menghapus penderitaan dengan 3 cara. Pertama, bila kita memutuskan memberikan milik kita pada orang lain, sekaligus kita mengurangi kemelekatan kita pada objek itu. Maka, membiasakan perbuatan berdana akan melemahkan faktor mental keserakahan, yang merupakan salah satu penyebab utama ketidakbahagiaan. Kedua, berdana dengan niat baik akan membuat kita terlahir di alam bahagia di masa mendatang, di lingkungan yang cocok untuk bisa bertemu Buddha Dhamma murni dan mempraktekkannya. Ketiga -dan ini yang paling penting- bila berdana dipraktekkan dengan niat agar pikiran menjadi cukup ulet untuk pencapaian Nibbana, tindakan kedermawanan itu membantu kita mengembangkan moralitas, konsentrasi, dan kebijaksanaan (sila, samadhi, pañña) langsung di masa kini. Ketiga tahap ini membentuk Jalan Mulia Berunsur Delapan yang diajarkan oleh Sang Buddha, dan penyempurnaan Sang Jalan mengakibatkan padamnya penderitaan.

Jika kita berdana dengan harapan memperoleh kehidupan berkelimpahan di masa mendatang, tujuan ini mungkin bisa tercapai, asalkan kita terus menyatu dengan prinsip-prinsip perilaku yang bermoral. Menurut Sang Buddha, motivasi berjuang untuk bisa terbebas adalah jauh lebih tinggi daripada motivasi untuk mengarah pada kebahagiaan duniawi di kelahiran yang akan datang. Karena, dana yang diberikan dengan menginginkan kesenangan masih diiringi akar psikologis berupa nafsu keinginan (tanha) yang tidak baik. Jasa kebajikan yang diperoleh lewat pemberian seperti itu habis di dalam kesenangan sementara, dan kebahagiaan duniawi itu membuat kita tetap berputar dalam lingkaran tumimbal lahir, yang pada dasarnya bersifat dukkha, mengandung benih penderitaan. Berdana yang diiringi nafsu keserakahan tidak dapat menghasilkan kebahagiaan yang langgeng, yang terbebas dari lingkaran tumimbal lahir sebagai akibat dari terhapusnya nafsu keserakahan secara total. Pemberian yang tidak ternoda oleh nafsu keserakahan dan kemelekatan hanya dapat dilakukan selama Buddha Sasana, periode ketika Ajaran Buddha masih ada. Maka, bila kita memberi sekarang ini, di mana Ajaran Buddha masih ada, kita harus melakukannya dengan tujuan menghentikan nafsu keserakahan. Dengan berakhirnya nafsu keserakahan, penderitaan pun berhenti, dan itulah pembebasan.
 Semoga semua makhluk berbagi jasa kebajikan dari dana Dhamma ini

Catatan Kaki :
* Inspirasi dan materi dasar untuk penulisan ini datang dari The Perfection of Generosity (Dana Parami), oleh Saya U Chit Tin, diterbitkan sebagai Dhamma Series No 3 dari Sayagyi U Ba Khin Memorial Trust, U.K., Splatts House, Heddington dekat Calne, Wiltshire, England. Saya sangat berterima kasih pada Saya U Chit Tin dan pada semua guru lain yang berhubungan dengan International Meditation Centres di Heddington, U.K. dan Yangoon, Myanmar.
  1. U Chit Tin, The Perfection of Generosity, Introduction.
  2. E.W. Burlingame, trans. Buddhist Legends (london: Pali Text Society, 1969), 2:212-16
  3. Buddhist Legends, 2:67-68
  4. Cariyapitaka, diterjemahkan oleh I.B. Horner, termasuk dalam Minor Anthologies of the Pali Canon, Part III (London: Pali Text Society, 1975)

Rabu, 05 Agustus 2015

BAGI YANG INGIN BERDANA








Bagi yang ingin membantu,
dana dapat disalurkan melalui rekening panitia :

YAYASAN BUDDHAYANA VIDYALAYA
BANK CENTRAL ACIA KCU BUMI WARAS
AC. NO. 0200680588

Pembangunan Sekolah Tinggi Ilmu Agama Buddha Jinarakkhita dan Vihara Buddha Bhaisajyaguru


Mari kita bantu terwujudnya pembangunan 
Sekolah Tinggi Ilmu Agama Buddha Jinarakkhita dan Vihara Buddha Bhaisajyaguru

" Pendidikan merupakan pondasi dasar pembentukan moral generasi penerus perkembangan Agama Buddha di Indonesia, khususnya di Propinsi Lampung.  Berdana pembangunan tempat ibadah, ruang sembahyang, serta pendidikan adalah perbuatan yang sangat mulia"





 Vihara Buddha Bhaisajyaguru berfungsi sebagai 
tempat pelatihan diri, meditasi, dan pengembangan spiritual, serta pelestarian Dhamma